Mediatrapnews. Palembang – Ditengah Upaya Reformasi KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) oleh Pemerintah, yang salah satu poinnya memperkuat peran jaksa sebagai pengendali perkara (Dominus Litis).
Dalam konsep ini, jaksa memiliki wewenang lebih besar dalam menentukan apakah suatu perkara dilanjutkan atau dihentikan. Hal ini memicu pro dan kontra dikalangan Pengamat Hukum di Indonesia baik dikalangan Akademisi, praktisi Hukum maupun Aktivis penggiat hukum itu sendiri.
Dimana dengan asas ini, jaksa memiliki kontrol penuh atas proses penuntutan, termasuk apakah sebuah kasus akan diteruskan ke pengadilan atau tidak. Namun, penerapan asas ini menimbulkan perdebatan panjang, baik dari sisi efektivitas penegakan hukum maupun risiko penyalahgunaan kekuasaan.
Apa Itu Asas Domini Litis?
Secara sederhana, asas domini litis berarti “penguasa perkara”. Dalam sistem hukum pidana, jaksa sebagai penuntut umum memegang kendali penuh atas kelanjutan suatu kasus setelah penyidikan selesai. Kewenangan ini mencakup keputusan untuk melanjutkan perkara ke pengadilan, melakukan penghentian penuntutan (deponering), atau mengajukan upaya hukum lain seperti banding dan kasasi.
Saat ini di indonesia Asas dominus litis, yang menempatkan jaksa sebagai pengendali utama dalam proses penuntutan pidana, telah menjadi topik diskusi yang semakin relevan dalam sistem peradilan Indonesia.
Perkembangan terbaru menunjukkan adanya upaya untuk memperkuat peran jaksa dalam mengendalikan perkara pidana, terutama melalui pembaruan legislasi seperti Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP).
Dalam RKUHAP, terdapat dorongan untuk mengatur secara lebih jelas peran jaksa sebagai dominus litis. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dan konsistensi dalam proses penuntutan, serta memastikan bahwa hanya perkara dengan dasar hukum yang kuat yang dilanjutkan ke pengadilan. Namun, penguatan peran ini juga menimbulkan kekhawatiran terkait potensi penyalahgunaan kekuasaan dan kurangnya mekanisme pengawasan yang memadai.
Perkembangan ini menunjukkan bahwa penerapan asas dominus litis di Indonesia sedang mengalami transformasi. Penting bagi pembuat kebijakan dan praktisi hukum untuk memastikan bahwa penguatan peran jaksa sebagai pengendali perkara diimbangi dengan mekanisme pengawasan dan akuntabilitas yang efektif, guna mencegah potensi penyalahgunaan kekuasaan dan memastikan tercapainya keadilan yang seimbang bagi semua pihak yang terlibat.
Saat ini Ada beberapa pendapat mengenai implementasi asas tersebut, diantaranya pendapat yang mendukung terhadap realisasi dari asas ini berargumen bahwa dominasi jaksa dalam perkara pidana memiliki beberapa manfaat diantaranya Konsistensi dan Efisiensi Penuntutan. Dengan adanya satu otoritas yang bertanggung jawab atas penuntutan, sistem hukum menjadi lebih efisien dan terorganisir. Jaksa dapat memastikan bahwa perkara yang diajukan ke pengadilan memiliki dasar hukum yang kuat, sehingga menghindari penumpukan kasus yang tidak layak untuk disidangkan.
Kemudian Mencegah Pengaruh Eksternal terhadap Penuntutan. Jika kewenangan penuntutan tersebar di berbagai lembaga atau dipengaruhi pihak lain, proses hukum dapat menjadi tidak konsisten. Dengan asas domini litis, keputusan hukum tetap berada dalam kendali jaksa, yang secara teoritis bertindak independen berdasarkan hukum dan fakta.
Serta Memperkuat Peran Jaksa dalam Menjaga Kepentingan Publik. Jaksa tidak hanya bertindak sebagai penuntut, tetapi juga sebagai penjaga kepentingan publik dalam proses peradilan. Dengan kewenangan penuh, jaksa dapat menilai perkara dengan objektif dan menentukan langkah terbaik berdasarkan prinsip keadilan dan kemanfaatan hukum.
Di sisi lain, banyak pihak menentang penerapan asas ini karena dianggap memberikan kekuasaan yang terlalu besar kepada jaksa, yang bisa berujung pada ketidakadilan. Beberapa kritik utama terhadap asas domini litis meliputi Berpotensi Menimbulkan Penyalahgunaan Kekuasaan. Kewenangan penuh tanpa pengawasan yang memadai dapat membuka ruang bagi jaksa untuk bertindak secara sewenang-wenang. Kasus tertentu bisa dihentikan karena kepentingan politik atau ekonomi, sementara kasus lain bisa dipaksakan untuk dituntut meskipun buktinya lemah.
Kemudian Minimnya Pengawasan dan Akuntabilitas. Sistem hukum yang baik harus memiliki mekanisme checks and balances. Namun, dengan domini litis, jaksa menjadi satu-satunya pihak yang menentukan jalannya perkara. Tanpa pengawasan yang ketat, keputusan jaksa bisa menjadi subyektif dan tidak selalu berorientasi pada keadilan.
Serta Kriminalisasi Selektif. Salah satu dampak negatif yang sering terjadi adalah praktik kriminalisasi selektif. Kasus yang melibatkan tokoh berpengaruh bisa diabaikan, sementara kasus kecil bisa diproses secara berlebihan untuk memenuhi agenda tertentu. Ini berpotensi melemahkan kepercayaan publik terhadap sistem hukum.
Namun Sebagian pihak berpendapat bahwa asas domini litis tidak perlu dihapus sepenuhnya, tetapi harus direformasi agar lebih transparan dan akuntabel. Beberapa usulan perubahan yang sering dibahas meliputi Mekanisme Pengawasan Eksternal
Mendirikan lembaga independen yang bertugas mengawasi keputusan jaksa dalam perkara pidana, sehingga ada mekanisme kontrol terhadap penuntutan.
Partisipasi Hakim dalam Proses Awal. Mengizinkan hakim untuk meninjau keputusan jaksa dalam menghentikan atau melanjutkan perkara, agar tidak hanya satu pihak yang menentukan jalannya proses hukum.
Peningkatan Transparansi. Keputusan jaksa dalam menghentikan atau melanjutkan perkara harus didasarkan pada parameter yang jelas dan dapat diakses oleh publik untuk mengurangi potensi penyalahgunaan kewenangan.
Pada akhirnya Asas domini litis adalah pedang bermata dua. Di satu sisi, ia memberikan struktur dan efisiensi dalam sistem peradilan pidana, tetapi di sisi lain, ia bisa menjadi alat penyalahgunaan kekuasaan jika tidak dikontrol dengan baik. Oleh karena itu, perdebatan mengenai asas ini harus terus dikembangkan dengan mempertimbangkan kepentingan hukum, keadilan, serta hak-hak individu agar sistem peradilan di Indonesia benar-benar berfungsi untuk melayani masyarakat, bukan segelintir pihak yang berkepentingan.
Untuk menghadapi perkembangan asas dominus litis di Indonesia, saya berpendapat setidaknya ada beberapa langkah yang bisa kita lakukan, baik sebagai masyarakat umum, akademisi, aktivis, maupun pembuat kebijakan.
Diantaranya Mendorong Transparansi dan Akuntabilitas. Mendesak agar setiap keputusan jaksa, terutama dalam penghentian atau kelanjutan perkara, didasarkan pada parameter hukum yang jelas dan dapat diakses oleh publik.
Memastikan adanya mekanisme pengawasan terhadap keputusan jaksa agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan.
Mengawal Pembahasan RKUHAP dan Kebijakan Lainnya. Mengkritisi dan memberi masukan terhadap RKUHAP yang berpotensi memperkuat kewenangan jaksa tanpa kontrol yang cukup.
Mendorong adanya keseimbangan antara kewenangan jaksa dan peran hakim dalam tahap awal proses pidana agar tidak terjadi monopoli dalam sistem peradilan.
Memperkuat Peran Lembaga Independen. Mendorong pembentukan atau penguatan lembaga independen yang dapat mengawasi keputusan jaksa, seperti Komisi Kejaksaan atau lembaga pengawas lain yang lebih efektif.
Memastikan adanya partisipasi publik dalam pengawasan sistem peradilan pidana.
Edukasi dan Advokasi Publik. Mengedukasi masyarakat tentang asas dominus litis dan dampaknya terhadap sistem hukum di Indonesia agar mereka dapat lebih kritis terhadap keputusan hukum yang tidak adil.
Membangun gerakan advokasi yang menuntut reformasi sistem peradilan pidana yang lebih transparan dan akuntabel.
Memastikan Perlindungan bagi Korban dan Terdakwa. Memastikan bahwa kewenangan jaksa tidak mengorbankan hak-hak korban dan terdakwa.
Mendorong adanya akses terhadap bantuan hukum yang lebih luas, sehingga mereka yang terlibat dalam perkara pidana tidak menjadi korban dari sistem yang timpang.
Perdebatan mengenai asas dominus litis bukan hanya soal teori hukum, tetapi juga menyangkut keadilan dan hak-hak masyarakat. Jika kita membiarkan kewenangan yang terlalu besar tanpa kontrol, hukum bisa menjadi alat kekuasaan, bukan alat keadilan. Oleh karena itu, keterlibatan aktif kita dalam mengawal sistem hukum sangat diperlukan.(ksb)
Oleh: Kasisnawati, S.H (Aktivis Perempuan Sumsel)